Wednesday, January 22, 2025

Lamang Tanjung Ampalu: Kisah Haru dari Tanjung Ampalu

 **Lamang Tanjung Ampalu: Kisah Haru dari Tanjung Ampalu ke Bukittinggi**


Di sebuah desa kecil bernama Tanjung Ampalu, Koto VII, Sijunjung, hiduplah sebuah keluarga sederhana yang terdiri dari Gozali, Umayyah, dan dua putranya, Yatin dan Zaidin. Kehidupan keluarga ini penuh perjuangan. Gozali bekerja di hutan, sementara Umayyah membuat lamang untuk dijual ke pasar-pasar sekitar. Kedua anaknya, Yatin dan Zaidin, tumbuh di bawah bimbingan dan kerja keras orang tua mereka.


Namun, sebuah insiden kecil menjadi awal dari perjalanan panjang yang penuh liku bagi keluarga ini. 


### Konflik yang Memisahkan


Suatu hari, Umayyah meminta Zaidin untuk mengantarkan makan siang Yatin yang sedang bekerja di sawah. Sayangnya, Zaidin tergoda bermain bersama teman-temannya di perjalanan hingga lupa pesan ibunya. Saat makan siang itu akhirnya tiba, nasi dalam rantang sudah dipenuhi semut merah. Yatin yang lapar menjadi sangat marah. Insiden ini memicu ketegangan yang membuat Zaidin mendapat teguran keras dari ibunya.


Merasa kecewa dan sedih atas amarah ibunya, Zaidin memutuskan meninggalkan rumah pada malam hari tanpa berpamitan. Dengan perasaan bersalah, ia berjanji suatu hari akan kembali membawa kebanggaan untuk keluarganya. Ia pun memulai perjalanan ke Kota Padang, di mana nasib membawanya bertemu seorang ibu angkat yang baik hati. Ibu angkat ini memberinya rumah, pendidikan, dan kasih sayang, hingga akhirnya Zaidin mampu mengubah hidupnya.


### Perjalanan Menuju Sukses


Berkat kecerdasannya, Zaidin berhasil menyelesaikan pendidikan hingga menjadi seorang dokter. Ia bekerja di sebuah rumah sakit di Bukittinggi, jauh dari kampung halaman dan keluarganya. Meski hidupnya mulai mapan, kenangan tentang Tanjung Ampalu dan keluarganya tetap membayangi hatinya.


Di sisi lain, Umayyah dan Gozali tidak tinggal diam. Mereka terus mencari Zaidin sambil berjualan lamang. Bertahun-tahun berlalu, tetapi usaha mereka belum membuahkan hasil. Meski demikian, cinta seorang ibu membuat Umayyah tak pernah menyerah.


### Pertemuan yang Mengharukan


Suatu hari, saat Zaidin menikmati waktu luang, ia mendengar alunan lagu Minang yang mengingatkannya pada kampung halaman. Tergerak oleh kerinduan, ia memutuskan untuk kembali ke Tanjung Ampalu. Namun, setibanya di sana, ia hanya menemukan rumah masa kecilnya dalam keadaan kosong dan tak terurus. Dari seorang tetangga, ia mengetahui bahwa keluarganya telah pergi mencarinya sejak 14 tahun lalu. Dengan hati yang berat, Zaidin kembali ke Bukittinggi.


Tak lama setelah itu, hidup membawa kejutan tak terduga. Saat istrinya, Nurhayati, membeli lamang di pasar, mereka bertemu seorang ibu tua yang berjualan lamang. Tanpa disadari, lamang yang dibeli Nurhayati menjadi jembatan pertemuan Zaidin dengan ibunya, Umayyah. Percakapan sederhana tentang lamang Tanjung Ampalu membuka kisah haru. Ketika Umayyah menyebut nama anak-anaknya, Zaidin tak kuasa menahan tangis dan langsung bersimpuh di kaki ibunya.


### Akhir yang Bahagia


“Ibu, ini Zaidin, anak ibu. Maafkan Zaidin yang telah meninggalkan ibu selama ini,” ucap Zaidin penuh haru. 


Pertemuan yang ditunggu selama 14 tahun itu akhirnya terjadi. Zaidin kembali ke pelukan ibunya, dan keluarga yang tercerai-berai akhirnya berkumpul kembali. Zaidin membawa kedua orang tuanya ke Bukittinggi untuk tinggal bersamanya, menjalani sisa hidup dalam kebahagiaan.


### Penutup


Kisah Zaidin dan keluarganya adalah pelajaran berharga tentang cinta, pengorbanan, dan pentingnya menghargai keluarga. Dari Tanjung Ampalu hingga Bukittinggi, perjalanan hidup mereka mengajarkan bahwa sebesar apa pun kesalahan dan sejauh apa pun seseorang pergi, kasih sayang keluarga adalah tempat kembali yang sejati.


---  

**"Lamang Tanjung Ampalu"** bukan hanya sebuah makanan khas, tetapi juga simbol harapan dan cinta yang menyatukan kembali keluarga. Mungkin, di balik sepotong lamang, ada cerita yang menyentuh hati seperti kisah Zaidin dan ibunya.



Cerita ini di buat dari cerita rabab Hasan Basri :LAMANG TANJUANG AMPALU


Kapunduang: Dari Umpatan Kasar Hingga Buah Nostalgia di Ranah Minang

 **Kapunduang: Dari Umpatan Kasar Hingga Buah Nostalgia di Ranah Minang**  



**Pendahuluan**  

Assalamualaikum, teman-teman. Tahukah kalian bahwa istilah "Kapunduang" sering digunakan sebagai ungkapan saat seseorang merasa kesal atau marah di Ranah Minang, khususnya di Sumatra Barat? Bahkan, istilah ini juga dikenal oleh sebagian kecil masyarakat di Pekanbaru, terutama mereka yang memiliki garis keturunan Minang atau tinggal di lingkungan yang mayoritas bersuku Minang.  


Namun, di balik konotasi negatifnya, tahukah kalian bahwa "Kapunduang" sebenarnya adalah nama sebuah buah? Mari kita telusuri lebih jauh tentang buah yang kaya kenangan ini.  


**Kapunduang: Antara Kenangan dan Kesalahpahaman**  

Secara historis, Kapunduang adalah nama buah yang menjadi salah satu camilan favorit anak-anak kampung di era 90-an. Rasanya unik—asam, sepat, dan sedikit manis, tergantung tingkat kematangannya. Buah ini bisa dikenali dari kulitnya yang mulai menguning saat matang.  


Di masa lalu, ketika pilihan camilan tidak sebanyak sekarang dan kondisi ekonomi sederhana, anak-anak sering memanjat pohon untuk memetik Kapunduang. Bagi sebagian besar anak, termasuk saya sendiri, kegiatan ini tidak hanya sekadar mencari camilan, tetapi juga menjadi hiburan tersendiri.  


**Kapunduang dalam Bahasa dan Budaya**  

Kapunduang, atau dikenal dalam bahasa Indonesia sebagai buah Menteng, memiliki nama ilmiah *Baccaurea racemosa*. Dalam bahasa Inggris, buah ini disebut "Menteng Fruit" atau "Cashew Fruit." Menariknya, nama buah ini bahkan diabadikan sebagai nama sebuah kompleks perumahan elit di Jakarta Selatan.  


Kapunduang juga memiliki "saudara sepupu," yaitu buah Rambai. Keduanya memiliki rasa yang hampir serupa, tetapi Rambai memiliki kulit yang lebih tipis dan warna buah yang lebih merah.  


Namun, sayangnya, banyak orang Minang yang lahir atau besar di luar Sumatra Barat, seperti di Pekanbaru, tidak mengetahui bahwa Kapunduang adalah nama buah. Mereka justru mengenalnya sebagai istilah kasar atau umpatan. Hal ini sering menimbulkan kesalahpahaman.  


**Pesan Bijak: Pilih Kata yang Baik**  

Jika kalian pernah mendengar seseorang mengumpat dengan kata "Kapunduang," jangan langsung marah. Mungkin saja mereka tidak tahu bahwa kata tersebut sebenarnya merujuk pada buah yang lezat ini. Atau mungkin, mereka hanya bercanda dengan mengacu pada baunya yang masam—karakteristik utama buah Kapunduang.  


Sebagai penutup, mari kita jadikan ini sebagai pengingat untuk selalu memilih kata-kata yang baik. Seperti pepatah yang sering kita dengar, *"Berkata baik atau diam."* Semoga kisah tentang Kapunduang ini bermanfaat dan memberikan perspektif baru bagi kita semua.  


**Kesimpulan**  

Kapunduang bukan sekadar istilah kasar, melainkan bagian dari budaya dan kenangan masa kecil di Ranah Minang. Selain itu, buah ini juga memiliki manfaat kesehatan, seperti kandungan antioksidan. Jadi, mari kita lestarikan pengetahuan ini dan terus menghargai kekayaan budaya lokal kita.  


Semoga bermanfaat!

Saturday, January 18, 2025

Angin Mereda, Kebakaran Hutan di Los Angeles Berhasil Dikendalikan

 # Angin Mereda, Kebakaran Hutan di Los Angeles Berhasil Dikendalikan  



Los Angeles, California, telah melalui masa sulit akibat kebakaran hutan besar yang melanda wilayah tersebut. Pada Rabu, 15 Januari 2025, petugas pemadam kebakaran berhasil mengendalikan dua kebakaran besar di sekitar Los Angeles. Berikut adalah laporan rinci mengenai situasi terkini dan langkah penanganan yang dilakukan.  


## Kobaran Api Berhasil Dikendalikan  


Setelah berhari-hari melawan kobaran api yang mengancam kota, kondisi mulai membaik. Angin kencang yang sebelumnya memperburuk situasi kini mereda, sehingga membantu proses pemadaman.

Thursday, January 16, 2025

Palasik: Cerita Mistik dari Bumi Minangkabau


Klik disini


**Palasik, Legenda yang Melekat dalam Budaya Minangkabau**  

Palasik merupakan salah satu cerita mistik yang sangat terkenal di Minangkabau, Sumatera Barat. Dalam tradisi lisan masyarakat, palasik bukanlah makhluk gaib seperti hantu pada umumnya, melainkan manusia yang menguasai ilmu hitam tingkat tinggi. Legenda ini diwariskan dari generasi ke generasi dan menjadi salah satu bagian tak terpisahkan dari budaya dan kepercayaan masyarakat Minangkabau.


### **Apa Itu Palasik?**  

Palasik adalah sosok yang ditakuti, terutama oleh para ibu yang memiliki balita. Konon, makanan utama palasik adalah anak-anak, baik yang masih berada dalam kandungan maupun yang telah meninggal dan dikubur. Meski menyeramkan, palasik tetap digambarkan sebagai manusia biasa, tetapi memiliki perilaku yang aneh dan menakutkan.


Lebih dari sekadar cerita, ilmu palasik disebut bersifat turun-temurun. Jika orang tua seseorang adalah palasik, maka kemungkinan besar anaknya juga akan menjadi palasik.


### **Cara Kerja dan Wujud Palasik**  

Palasik memiliki kemampuan unik, yaitu melepaskan bagian tubuhnya saat mencari makanan. Ada dua jenis wujud palasik yang sering diceritakan:  

1. Tubuhnya berjalan tanpa kepala.  

2. Kepalanya melayang tanpa tubuh.  


Palasik yang dikenal melepaskan kepala ini disebut *Palasik Kuduang*. Dalam bahasa Minang, "kuduang" berarti terpotong atau buntung.


### **Jenis-Jenis Palasik Berdasarkan Makanannya**  

Berdasarkan cerita rakyat, palasik memiliki beberapa jenis yang dibedakan menurut jenis makanannya:  

1. **Palasik Pemakan Janin**  

   Palasik ini menyerang bayi dalam kandungan, yang menyebabkan bayi lahir tanpa ubun-ubun atau meninggal sebelum lahir.  


2. **Palasik Pemakan Bayi**  

   Jenis ini menyerang bayi yang masih hidup, menyebabkan bayi sering sakit-sakitan atau bahkan meninggal dunia.  


3. **Palasik Pemakan Mayat Bayi**  

   Palasik ini mencuri mayat bayi yang telah dikubur untuk disantap.


### **Cara Menghadapi Palasik**  

Masyarakat Minangkabau memiliki cara unik untuk menghadapi palasik. Menurut cerita, jika seorang wanita yang menggendong bayi bertemu dengan palasik, ia dianjurkan untuk mendekat dan mengambil tangan palasik sambil berkata, "Ini anakmu" atau "Ini cucumu." Cara ini dipercaya membuat palasik enggan menyakiti bayi tersebut.


Namun, bayi juga bisa jatuh sakit hanya dengan tatapan mata palasik. Jika hal ini terjadi, bayi harus segera diobati oleh orang pintar. Bila tidak, anak tersebut berisiko meninggal dunia. Lebih menyeramkan lagi, setelah meninggal dan dikubur, palasik disebut dapat mencuri mayat bayi untuk disantap.


### **Mitos atau Realitas?**  

Meski terdengar mistis, cerita tentang palasik sudah menjadi bagian dari tradisi Minangkabau. Wujud palasik yang digambarkan sebagai manusia biasa dengan perangai aneh menambah kesan misterius pada sosok ini. Namun, hingga kini, cerita ini tetap dianggap sebagai mitos yang hidup di tengah masyarakat.


### **Kesimpulan**  

Legenda palasik adalah bagian dari kekayaan budaya Minangkabau yang penuh misteri dan cerita unik. Meskipun cerita ini sering kali menyeramkan, nilai-nilai kearifan lokal di baliknya, seperti perlindungan terhadap bayi dan kewaspadaan, tetap relevan hingga kini. 


Namun, jangan terlalu meresapi cerita ini, ya! Anggap saja sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu kita lestarikan.

Asal-usul Danau Maninjau: Kisah Legenda dari Sumatera Barat

 



Asal-usul Danau Maninjau: Kisah Legenda dari Sumatera Barat  


### Pengenalan  

Danau Maninjau adalah salah satu keindahan alam di Provinsi Sumatera Barat. Terletak di Kabupaten Agam, danau ini merupakan danau vulkanik yang terbentuk akibat aktivitas gunung berapi. Danau vulkanik seperti Danau Maninjau sering kali muncul setelah letusan besar yang membentuk kawah besar, yang kemudian terisi air. Selain keindahannya, Danau Maninjau juga menyimpan kisah asal-usul yang melegenda, yang menjadi bagian dari tradisi lisan masyarakat setempat.  


### Sepuluh Bersaudara di Kaki Gunung Tinjau  

Alkisah, di kaki Gunung Tinjau, hiduplah sepuluh bersaudara yatim piatu. Mereka terdiri dari sembilan laki-laki dan satu perempuan bernama Sani, yang merupakan anak bungsu. Anak pertama mereka bernama Kukuban. Tidak jauh dari tempat tinggal mereka, tinggal seorang hartawan bernama Datuk Limbatang, yang terkenal sebagai orang yang dermawan. Datuk Limbatang memiliki seorang putra bernama Giran, yang sering membantu keluarga Kukuban.  


### Pertandingan Silat yang Menjadi Awal Masalah  

Di kampung tersebut, terdapat tradisi mengadakan pertandingan silat setelah musim panen. Pertandingan ini bersifat persahabatan, tanpa menyimpan dendam bagi yang kalah. Dalam salah satu pertandingan, Kukuban bertemu Giran sebagai lawan. Kukuban bertanding dengan penuh semangat hingga berhasil membuat Giran kewalahan. Namun, sebuah tendangan Kukuban mengenai kaki Giran dengan keras, menyebabkan cedera parah.  


Giran meminta maaf kepada Kukuban, namun Kukuban harus pulang dengan dipapah warga. Meski para penonton menyadari bahwa Giran tidak sengaja mencederai Kukuban, rasa sakit fisik dan harga diri yang terluka membuat Kukuban menyimpan dendam.  


### Hubungan Rahasia Giran dan Sani  

Tanpa sepengetahuan banyak orang, Giran dan Sani telah lama menjalin hubungan. Setelah insiden silat tersebut, Giran memberanikan diri untuk melamar Sani. Dengan dukungan ayahnya, Datuk Limbatang, ia mengajukan pinangan kepada Kukuban. Namun, Kukuban menolak lamaran tersebut dengan alasan dendam atas kekalahannya dan cedera yang dialaminya.  


### Persekusi di Tengah Kampung  

Kukuban, yang masih menyimpan amarah, meminta warga kampung untuk mengawasi Giran dan Sani. Ketika mereka bertemu di pinggir sungai, warga kampung menangkap mereka dan menuduh mereka melanggar norma adat. Meski Giran dan Sani berusaha menjelaskan situasi sebenarnya, warga kampung tetap bersikeras menghukum mereka dengan membawa keduanya ke kawah Gunung Tinjau.  


### Doa yang Mengubah Segalanya  

Di tepian kawah, sebelum warga melemparkan mereka, Giran mengucapkan doa dengan suara lantang:  

> "Ya Tuhan, jika kami tidak bersalah, maka letuskanlah Gunung Tinjau ini sebagai pelajaran bagi mereka."  


Setelah mengucapkan doa tersebut, Giran dan Sani melompat ke dalam kawah. Tak lama kemudian, gunung tersebut meletus dengan dahsyat. Gempa bumi mengguncang, dan lahar panas menyembur keluar, menghancurkan segalanya di sekitarnya.  


### Terbentuknya Danau Maninjau  

Letusan Gunung Tinjau meninggalkan kawah besar yang perlahan-lahan terisi oleh air jernih. Kawah itu kemudian menjadi sebuah danau yang indah dan dikenal sebagai Danau Maninjau. Kejadian tersebut menjadi pelajaran bagi masyarakat kampung untuk tidak mudah menghakimi dan memfitnah orang lain.  


### Kesimpulan  

Legenda Danau Maninjau mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga hati dan menjauhi prasangka buruk. Keindahan danau ini tidak hanya menjadi anugerah alam yang luar biasa, tetapi juga menjadi simbol kebijaksanaan yang lahir dari sebuah peristiwa tragis. Hingga kini, Danau Maninjau tetap memukau pengunjungnya dengan pesona dan cerita yang penuh hikmah.  

**Hikayat Cinduamato: Sebuah Cerita dari Minangkabau** Part.2




 **Hikayat Cinduamato: Sebuah Cerita dari Minangkabau**  Part.2


 ### Akhir Kisah Hikayat Cinduamato  


Setelah melalui berbagai ujian dan konflik, Cinduamato berhasil mengatasi ancaman dari Tiang Bungkuak, ayah Imbang Jayo, dengan menggunakan keris pusaka yang ia curi dari rumah Tiang Bungkuak. Dengan keberanian dan kecerdasannya, Cinduamato berhasil mengalahkan Tiang Bungkuak dalam pertarungan yang menentukan.  


Kemenangan ini membawa kedamaian kembali ke Pagaruyung. Setelah menetap di rantau timur untuk beberapa waktu, Cinduamato akhirnya kembali ke Pagaruyung. Ia menikah dengan Putri Lenggogeni, sementara Dang Tuanku menikah dengan Putri Bungsu. Kedua pasangan ini dirayakan dalam pesta pernikahan yang megah, dihadiri oleh undangan dari berbagai penjuru negeri.  


Sebagai hasil dari persatuan yang kokoh, mereka dikaruniai seorang anak bernama Sutan Lenggang Alam. Kehadiran Sutan Lenggang Alam menjadi simbol dari harapan dan keberlanjutan tradisi serta nilai-nilai luhur Minangkabau.  


### Pelajaran dari Hikayat Cinduamato  

Hikayat Cinduamato bukan hanya sekadar cerita rakyat, tetapi juga merupakan cerminan nilai-nilai budaya Minangkabau, seperti persahabatan, kesetiaan, keberanian, dan penghormatan terhadap adat. Kisah ini mengajarkan bahwa keberanian dan kebijaksanaan dapat mengatasi tantangan sebesar apa pun, sementara persatuan dan kerja sama dapat membawa kedamaian serta kebahagiaan bagi semua.  


Hikayat ini terus hidup dalam masyarakat Minangkabau, menjadi warisan budaya yang memperkaya identitas mereka. Melalui cerita ini, generasi muda diajak untuk menghormati adat dan tradisi serta menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang.  


**Akhir Hikayat**  

**Hikayat Cinduamato: Sebuah Cerita dari Minangkabau** Part 1

 



**Hikayat Cinduamato: Sebuah Cerita dari Minangkabau**  


### Pengantar Hikayat Cinduamato  

Hikayat Cinduamato adalah salah satu cerita rakyat yang berasal dari Minangkabau. Kisah ini mengisahkan perjalanan dua sahabat sejati, Cinduamato dan Dang Tuanku, dalam menghadapi tantangan kehidupan. Dang Tuanku adalah putra mahkota Kerajaan Pagaruyung, sementara Cinduamato adalah seorang kesatria yang setia dan tangguh. Cerita ini menggambarkan nilai persahabatan, pengorbanan, dan keberanian dalam menghadapi ujian.  


### Perjalanan Menuju Gelanggang di Sungai Tarap  

Dikisahkan bahwa Dang Tuanku telah bertunangan dengan Putri Bungsu, putri Raja Mudo. Pada suatu hari, kabar tersebar bahwa Bendahara di Nagari Sungai Tarap sedang membuka gelanggang untuk mencari menantu bagi putrinya, Putri Lenggogeni. Mendengar kabar ini, Bundo Kanduang mengajak Dang Tuanku dan Cinduamato untuk menghadiri acara tersebut.  


Di gelanggang tersebut, hadir banyak pangeran dan sutan dari berbagai negeri, termasuk Dang Tuanku dan Cinduamato. Kehadiran mereka membawa kebanggaan, terutama karena Bendahara menyambut mereka dengan hormat. Dalam perbincangan, Bendahara setuju untuk menjadikan Cinduamato calon menantunya.  


### Kabar Buruk dari Pasar  

Saat berada di Sungai Tarap, Cinduamato mendengar kabar di pasar bahwa tunangan Dang Tuanku, Putri Bungsu, akan menikah dengan Imbang Jayo, seorang raja dari Sungai Nyang. Hal ini membuat Cinduamato memutuskan untuk segera kembali ke Pagaruyung bersama Dang Tuanku. Sesampainya di sana, ia menceritakan hal ini kepada Dang Tuanku dan Bundo Kanduang.  


### Rapat Kerajaan dan Tugas Baru untuk Cinduamato  

Bundo Kanduang mengadakan rapat dengan para abdi kerajaan untuk membahas situasi ini. Diputuskan bahwa Cinduamato akan diutus ke Sikalawi untuk memberikan Si Binuang, seekor kerbau sakti, sebagai tanda penghormatan kepada Putri Bungsu. Dengan kuda sakti bernama Si Gumarang, Cinduamato memulai perjalanannya.  


### Pertemuan dengan Tengkorak dan Pertarungan dengan Penyamun  

Dalam perjalanannya, Cinduamato menemukan tengkorak manusia berserakan di perbatasan. Karena penasaran, ia menggunakan mantra untuk membuat tengkorak itu berbicara. Tengkorak tersebut mengungkapkan bahwa ia adalah seorang pedagang yang dibunuh di tempat itu. Tidak lama kemudian, Cinduamato diserang oleh sekelompok penyamun suruhan Imbang Jayo. Dengan bantuan kuda saktinya, ia berhasil mengalahkan mereka. Para penyamun mengaku bahwa mereka diutus oleh Imbang Jayo untuk memutus hubungan antara Pagaruyung dan rantau timur.  


### Kedatangan di Rumah Raja Mudo  

Cinduamato akhirnya tiba di rumah Raja Mudo, tempat Putri Bungsu tinggal. Ia diterima dengan ramah, meskipun Raja Mudo mengira bahwa kedatangannya adalah tanda restu dari Bundo Kanduang untuk pernikahan Putri Bungsu dan Imbang Jayo. Cinduamato, dengan kecerdikannya, berpura-pura kesurupan agar dapat berbicara empat mata dengan Putri Bungsu. Dalam pertemuan itu, ia mengungkapkan bahwa ia diutus oleh Dang Tuanku dan meminta Putri Bungsu untuk mengingat ikatan mereka.  


### Konflik dan Keputusan Raja  

Setelah berhasil membawa Putri Bungsu kembali ke Pagaruyung, perbuatan Cinduamato dianggap melanggar hukum adat. Namun, setelah diskusi panjang antara Raja, Bundo Kanduang, dan para menteri, diputuskan bahwa tindakan Cinduamato tidak layak dihukum. Hal ini karena perbuatannya dianggap sebagai balasan atas penghinaan yang dilakukan oleh Imbang Jayo.  


### Persiapan Pernikahan dan Ancaman Baru  

Rapat kerajaan juga menyepakati pernikahan antara Dang Tuanku dan Putri Bungsu, serta Cinduamato dengan Putri Lenggogeni. Namun, kabar ini membuat Imbang Jayo merasa dipermalukan. Dengan senjata pusaka bernama Cermin Tarwi, ia mulai menyerang Kerajaan Pagaruyung.  


(Bersambung…)  


*Catatan: Kisah ini akan dilanjutkan pada bagian berikutnya, mengungkap bagaimana konflik dengan Imbang Jayo memengaruhi perjalanan hidup Cinduamato dan Dang Tuanku.*  

Wednesday, January 15, 2025

MANDE RUBIAH (BUNDO KANDUANG)

 


SIAPA MANDE RUBIAH?? (BUNDO KANDUANG) CERITA MINANG

Assalamualaikum Dunsanak

 Mande rubiah, Mande rabiah, atau Mande rubiah hanya penulisan dan

penyebutannya saja yang berbeda padahal maksudnya sama untuk selanjutnya dipakai saja

Mande rubiah dalam perjalanan riwayatnya baik yang terdapat dalam kisah-kisah kabar atau

hikayat maupun yang hidup di tengah-tengah masyarakat tradisi khususnya di kalangan

masyarakat tradisi pesisir pantai Sumatera Barat Mande rubiah adalah gelar kehormatan yang

cukup terpandang untuk seorang wanita seperti juga gelar bundo kandung bagi seorang raja

atau pemimpin wanita di Minangkabau pada masa dahulu dalam versi Istana Baso Pagaruyong

menoktahkan bahwa Putih Indo Jalito adalah bundokandung yang sebenarnya namun dalam

versi Damasrayanya Darajinga Ibu Adityawarman adalah bundokandung yang sebenarnya

kemudian ada lagi versi Lunang yang mengklaim bahwa Mande rubiah adalah bundokandung Yang sebenarnya 

Versi Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu turut meramaikan bahwa

keturunan Putih mereka lah yang bundokandung tapi versi ini dapat dibedakan dengan kalimat

Nanai Ateh Jambangan Jambangan di Sungai Pagu dapat disimpulkan bahwa bundokandung

adalah personifikasi etnis sekaligus julukan yang diberikan kepada perempuan sulung atau

yang dituakan dalam suatu suku di Minangkabau jadi bundokandung adalah gelar bukan Personal orang

 sah-sah saja semuanya kalau begitu bahkan Rahma El Yunisyah dan Rohana

Kudus juga mendapatkan gelar ini 

oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa Mande rubiah adalah personifikasi etnis sekaligus julukan yang diberikan kepada perempuan sulung atau yang

dituakan dalam suatu suku di Minangkabau 


Dalam versi Lunang yang sekaligus merupakan gelar Ratu Kerajaan Minangkabau terakhir Lunang rumah gadang 

Mande rubiah memiliki

hubungan dengan Kerajaan Pagaruyuang sekitar tahun 1520 Masehi Raja Perempuan

Minangkabau yaitu Bundokandung beserta keluarga dan pengikutnya menghirap atau hijrah

dari Pagaruyong ke Tanah Menang negeri Lunang gelar Bundokandung kemudian berganti

menjadi Mande rubiah nama-nama suku dan gelar Raja dan Ratu pun ikut berganti awal

mulanya ialah pada Kaba Cinduomato

di dalam Kaba Cinduomato kedua orang tokoh utama

Ryo Depati dan anaknya Ryo Agung Muda disebut dengan nama Tiangbungku dan anaknya Imbang Jayo yang menyerang Pagaruyong karena keinginan Imbang Jayo untuk mempersunting anak tuanku Bagindo Rajomudo adik Bundokandung dari ranah Sekelawi yang

telah bertunangan dengan Dang Tuanku digagalkan oleh Cinduomato 

menurut Acanago HR

menuturkan bahwa putih panjang rambut juga disebut dengan nama Putri Lindung bulan ia menikah dengan Bujang Salamat dan lahirlah Raja Sri Mandul di dalam cerita Raja Muda

sedangkan dalam Kaba Cinduomato disebut Putih Tuo dengan gelar Bundokandung seperti di

dalam cerita Raja Muda Putih Tuo juga menikah dengan Bujang Salamat yang dituturkan

melalui cerita Kias Memanjat Pohon Nyur Gading 

sedangkan dalam cerita Payang Prahmata

Curito Poyang Perhamato disebut Putih Panjang Rambut yang menikah dengan Heang Indojati

bergelar Anggun dan Cendai adiknya disebut Raja Megat yang menjadi Raja Muda di ranah Sekelawi 

Cerita Poyang Pengahmato ataupun Kaba Cinduomato dan cerita Raja Muda

merupakan cerita yang mengisahkan mulai suramnya Wangsa Malayu atau Malayapura pada pertengahan abad ke-15 namun di masa pemerintahan Putih Panjang Rambut masih berhasil dipatahkan suatu penyerbuan yang dilakukan Bajak Laut Cina yang memisahkan diri dan bergabung dengan kelompok Bajak Laut lainnya yang berada di Kiulang Pelabuharı Lama Palembang yang waktu itu dipimpin Chen Tzu Bajak Laut Cina itu ditundukkan oleh tentara Cina sendiri atas permintaan para pembesar Palembang pemimpin tentara Cina waktu itu adalah Laksamana Chen Ho seorang penganut Islam yang taat sekelompok Bajak Laut Cina menyingkir ke Pasemah dengan pasukannya sementara seorang pemimpinnya bersama putranya meninggalkan kawasan itu terus masuk ke Ranah Sekalawi dari sini ia terus ke Ulu Rawas tempat sebuah kerajaan kecil yang benama Sungai Nyang disini pemimpin Bajak Laut Cina yang lari itu dikenal sebagai Ryo Depati Tiang Bungku sedangkan putranya Ryo Agung dikenal sebagai Imbang Jayo dan di Sungai Nyang pula lah Tiang Bungku dan Imbang Jayo tampil menggagalkan perampokan yang dipimpin Ryo Jenang bersama kakaknya Ryo Centang 

Ryo Jenang menyerah dan saat itu Tiang Bungku bersama putranya Imbang Jayo diminta oleh Raja Sungai Nyang untuk menetap di negerinya bahkan Tiang Bungku diambil jadi menantunya dinikahkan dengan putrinya bernama Putri Sabuni Burung Berkicau dari perkawinan ini lahirlah Putri Ratna Intan Patidewi di dalam Kaba Cendomato disebut Putri Ranit Jentan sedangkan dalam cerita Raja Muda adalah putri dari Raja Muda sendiri dengan Putri Bungsu yang dilahirkan Putri Ratna Kuntumsari Ryo Agung 

di dalam Kaba Cindua mato disebut Imbang Jaya sedangkan di dalam cerita Raja Muda disebut Imbangan Jajar dari negeri Cempakasari Ryo Centang disebut Lalat Tuo